23 Agustus, 2011

Keterpaksaan berbuah keikhlasan


Hari itu malam ke 21 Ramadhan 1432 H. Seperti biasa, aku, orangtua, dan kedua adikku melaksanakan shalat tarawih di mushalla terdekat. Rumah kami memang tidak jauh dari sana, hanya berjarak sekitar lima rumah.
Malam itu, sesuai isi undangan yang diantarkan pengurus mushalla ke rumahku, dilaksanakan peringatan nuzul qur’an yang jatuh pada 17 ramadhan. Tapi, disini kami baru bisa memperingatinya pada malam ke-21.
Berbeda dari malam malam sebelumnya. Kalau biasanya sehabis isya beramaah dilanjutkan dengan ceramah, kali ini setelah shalat isya kami langsung shalat tarawih dan barulah acara peringatan turunnya al-qur’an itu dimulai.
Dan seperti biasanya lagi, aku ditunjuk sebagai qari’ah yang akan membacakan al-qur’an sebagai acara pembuka. Mungkin karena bosan, atau sebagainya, aku agak malas ‘bertugas’ saat itu. Yang terpikirkan hanyalah “mengapa harus aku? Selalu aku! Seperti tidak ada orang lain saja”. Gerutuku dalam hati.  Spontan aku dan beberapa teman yang diminta mengisi acara kabur ke toilet, berdiam agak lama disana. Kami juga tidak mengerti kenapa, entah setan apa yang merasuki kami malam itu. Di toilet kami hanya menggerutu, rasanya tak mau keluar sebelum acara selesai, atau setidaknya pengurus mendapatkan pengganti kami.
Akhirnya, bagaimanapun cara kami menolak, yang dibayangkan sebelumnya tetap saja terjadi. Awalnya aku sempat berdebat dengan ketua pengurus dan menyampaikan uneg uneg ku tadi. Sepertinya tak ada yang bisa mengubah pendiriannya. Aku pasrah, mungkin ini semua memang kewajibanku, selama masih ada disini.
Aku bersama temanku maju ke depan. Tak ada sedikitpun perasaan gugup. Ya, karena kami telah terbiasa, sangat terbiasa! Alhamdulillah tugas kami berjalan mulus, padahal aku akan mengira akan ada hambatan karena kami menolak dan menggerutu dengan tugas yang sebenarnya amat mulia itu.
Beberapa saat kemudian, acara inti dimulai. Ustad penceramah sudah menaiki mimbar, tak ada lagi suara gaduh kecuali cekikikan-cekikikan balita yang memang tidak mengerti situasi dan kondisi. Aku dan seluruh jamaah hanya diam, menunggu apa yang akan disampaikan sesosok pria yang kelihatan ramah dari wajahnya itu.
Memang benar dugaanku, ia adalah ustad yang pandai membawa suasana, tak sungkan tersenyum dihadapan puluhan jema’ahnya. Kali ini berbeda dari tahun sebelumnya yang menyampaikan dimana, kapan, dan untuk apa al-qur’an itu sendiri diturunkan, tapi beliau lebih mengarah pada bagaimana al-qur’an itu diamalkan dalam kehidupan.
Inti penyampaiannya sangat memukau. Bagaimana taqwa itu sebenarnya, bagaimana berbuat ikhlas, bagaimana berlomba-lomba dalam berbuat baik, dan banyak hal lagi.
Taqwa itu sebenarnya bagaimana kita bersikap tidak hanya dalam keadaan berkecukupan saja, melainkan juga dalam kesusah payahan. Dan Allah berjanji, jika dilakukan dengan ikhlas Ia akan mebalasnya tunai bahkan berlipat ganda dengan cara yang kadang tidak diduga-duga.  
Ikhlas itu merupakan kumpulan keterpaksaan-keterpaksaan yang kita lakukan berulang kali.
Aku tersentak, betapa tidak ikhlasnya aku untuk sekedar membaca al-qur’an tadi. Astaghfirullahal’aziim, maafkanlah kesalahanku ya Allah.  
Dan yang paling berkesan, bagaimana ustad menjelaskan tentang fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Hingga akhirnya malam itu kami berlomba-lomba untuk merebut surga Allah dengan berinfaq. Subhanallah, hampir semua jama’ah menyumbangkan sebagian rezekinya. Ustad ramah itu seperti membawa angin segar bagi kami yang belum memahami ikhlas, belum mengerti akan terbatasnya kesempatan untuk menempati surga Allah. Maka dari itu, bersainglah merebut surgaNya dengan iman dan taqwa.
Malam ini, kami belajar banyak.
Dan satu hal yang aku pertanyakan “kapan keterpaksaan itu berbuah keikhlasan?”.

Tidak ada komentar: